Pembaca yang budiman,
Setiap kisah para salaf adalah lentera yang menuntun kita dalam lorong kehidupan. Ia bukan sekadar catatan sejarah, tetapi denyut keteladanan yang hidup dari zaman ke zaman.
Dalam edisi kali ini, tersaji kisah tentang detik-detik terakhir seorang alim besar, sang ahli fikih Kota Madinah. Sakitnya bukan pelemah semangat, wafatnya bukan akhir dari cahaya. Namun justru dari pembaringan sakitnya, kita belajar tentang keteguhan jiwa, kemurnian tauhid, dan ketundukan yang sempurna kepada Rabb semesta alam.
Maka biarlah kisah ini mengetuk hati kita, menggugah kesadaran bahwa kemuliaan hakiki terletak pada kesetiaan menjaga agama hingga helaan napas terakhir.
Pada suatu siang yang terik di kota Madinah, langit seolah ikut bersedih menyaksikan seorang ulama besar yang terbaring lemah di pembaringannya. Dialah Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah, salah satu ahli fikih kota Madinah yang terkemuka, pewaris ilmu para sahabat, dan cahaya umat di zamannya.
Tubuhnya melemah, tapi ruhnya tetap tegak. Dalam sakit kerasnya, ia tak meninggalkan shalat. Abdurrahman bin Harmalah yang menjenguknya melihat ia tengah menunaikan shalat Zhuhur sambil berbaring, tubuhnya tak mampu berdiri, namun lisannya masih lirih melantunkan ayat-ayat suci. Ia membaca,
وَٱلشَّمْسِ وَضُحَىٰهَا
“Wa sy-syamsi wa dhuhāhā…”
“Demi matahari dan cahayanya.”
Begitulah Sa’id, meski tubuhnya lunglai, jiwanya tetap bersujud.
Beberapa waktu kemudian, Nafi’ bin Jubair datang menjenguk. Ia mendapati Sa’id dalam keadaan pingsan. Dengan hati penuh kasih dan rasa hormat, ia berkata,
“Hadapkanlah ia ke arah kiblat.” Orang-orang pun mengubah posisi pembaringan sang ulama.
Tak lama kemudian, Sa’id siuman. Ia menatap mereka dan bertanya lirih, “Siapa yang menyuruh kalian memindahkanku ke arah kiblat? Apakah Nafi’?”
“Ya,” jawab Nafi’.
Maka Sa’id berkata, “Jika aku tidak sedang berpegang teguh pada kiblat dan agama ini, demi Allah, arah kiblat yang kalian hadapkan kepadaku itu takkan bermanfaat bagiku.”
Betapa dalam makna ucapannya. Kiblat bukan sekadar arah tubuh, tetapi arah hati dan keyakinan.
Di saat-saat akhir hidupnya, Sa’id sempat meninggalkan sejumlah dinar. Namun bukan harta itu yang mengganjal hatinya. Ia mengangkat tangannya dan berdoa,
اللهم إنك تعلم أني لم أتركها إلا لأصون بها حسبي وديني
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku tidak meninggalkannya kecuali untuk menjaga kedudukanku dan agamaku.”
Harta itu bukan untuk dunia, tapi sebagai pelindung dari kehinaan dan godaan zaman.
Jauh sebelum kematiannya, Sa’id pernah berwasiat kepada keluarganya dengan 3 wasiat; “Jangan ada yang meratap dengan syair ratapan, jangan dinyalakan api (seperti obor) dalam pengiringan jenazahku, dan percepatlah penguburanku.”
Akhirnya, pada tahun 94 Hijriah, di masa kekhalifahan Al-Walid bin Abdul Malik, sang fakih Madinah berpulang ke rahmatullah dalam usia 75 tahun. Tahun itu kelak dikenang sebagai Tahun Para Fuqaha, karena banyak ahli fikih wafat di masa yang sama.
Demikianlah akhir perjalanan seorang alim. Ia hidup dalam ilmu, wafat dalam iman, dan meninggalkan jejak yang tak padam oleh waktu.
Wallahu’alam..
Referensi:
1. Thabaqatul Khubra, karya Ibnu Sa’ad
Cirebon, Kamis, 10 Dzulqa’dah 1446 H/ 8 Mei 2025.
Komplek Ponpes Dhiya’us Sunnah
Yuk bergabung di kanal:
Kisah dan Murattal 🇮🇩
http://t.me/kisahdanmurottalpilihan