••••
🎙️Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
Seseorang sepantasnya menolak dari dirinya tuduhan adanya sikap meremehkan kewajiban atau tuduhan melakukan perkara yang diharamkan.
Dasar dari itu adalah Nabi didatangi oleh Shafiyyah di tempat i’tikafnya dan dia berbicara di sisi beliau sesaat, kemudian beliau keluar untuk mengantarnya, lalu ada dua orang dari Anshar lewat kemudian mereka mempercepat jalannya, maka beliau bersabda,
عَلَى رِسْلِكُمَا إنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَي.
“Pelan-pelan, sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyyah bintu Huyai.”
Keduanya mengatakan, “Subhanallah.”
Lalu beliau bersabda,
إنَّ الشَّيْطانَ يَجْرِي مِنَ الإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ وَإنِّي خَشِيْتُ أَنْ يَقْذِفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا أَوْ قَالَ شَرًّا.
“Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam di aliran darah, dan sungguh aku khawatir dia akan melemparkan sesuatu atau keburukan dalam hati kalian.”
(Lihat: Shahih Al-Bukhari no. 3101)
Jadi ini merupakan dasar dari sikap seseorang untuk menolak tuduhan dari dirinya.
Di sana juga terdapat alasan yang lain yaitu bahwa sesungguhnya dirimu merupakan amanah, jadi sebagaimana engkau membela kehormatan saudaramu maka belalah kehormatan dirimu sendiri.
Adapun keadaan seseorang tidak peduli maka ini tidak sepantasnya.
Tetapi jika antara dirinya dan seseorang terjadi hal-hal yang bisa menyeretnya untuk berbuat buruk kepadanya maka di sini datanglah peran memaafkan, dan ini bukan termasuk bab yang sedang kita bahas.
🪩 Sumber: https://youtu.be/11W9A3FTtJA?si=g5_TSIs4eHXUQAvH
https://t.me/salafysolo