Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, kecuali Allah akan mengangkat (derajat)nya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
📝 Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Makna tawadhu adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghinakan diri, patuh, dan merendah. Kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan perangai tawadhu.
Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim tentu membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus; diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah, sombong, hasad, dll).
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10)
📝 Hammad bin Ibrahim berkata,
“Kebenaran itu jelas dan mudah. Manusia pun pada asalnya diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang-orang yang telah rusak fitrahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah Abu Dzar radhiallahu anhu untuk mengucapkan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi para ahli bid’ah dan para pengekor hawa nafsu.”
(ash-Shawarif ‘anil Haq, hlm. 41)
🖥 Simak selengkapnya:
🌏 https://asysyariah.com/kebenaran-tercampakkan-karena-kedengkian-dan-kesombongan/
📲 https://t.me/asysyariah/701
📡 Turut menyebarkan ilmu•••⤵
» Grup ⒻⓈⒹ :
https://chat.whatsapp.com/DtfHgwM9xwWD4e4QmgvnoP